KONFLIK SARA DI INDONESIA
A. LATAR BELAKANG
Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh,terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.
Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa.
Mudah terbakarnya isu-isu yang berkaitan dengan SARA sebenarnya tidak karena perbedaan diantara segmen-segmen dalam masyarakat yang berhubungan dengan SARA, melainkan karena kesenjangan ekonomi, politik, maupun budaya yang melatarbelakanginya. Untuk mengatasi masalah SARA tidak bisa hanya menekan gejalanya saja. Dalam kaitan ini militer tidak akan mampu mengatasi akar-akar persoalan SARA secara sendirian. Karena dibawah isu-isu SARA yang muncul ke permukaan, sebenarnya ada persoalan-persoalan lain, dan itulah yang harus dicarikan pemecahannya.
Dalam hal ini masalah kesenjanganlah yang harus cepat diatasi. Sebagai ilustrasi ia mencontohkan di Bangka dan Kalbar, tidak pernah muncul kasus-kasus SARA karena tingkat kesejahteraan ekonomi antara golongan keturunan Cina dan pribumi relatif sama. Pluralisme yang kita anut adalah pluralisme yang positif. Semua kelompok bebas mengekspresikan diri. Perbedaan ekspresi tidak bisa dikatakan sektarianisme. Kerusuhan masyarakat yang ditimbulkan kesenjangan sosial ekonomi yang bisa terjadi bila pembangunan nasional tidak berhasil memperkecil ketidakadilan sosial ekonomi.
Mendorong kemungkinan timbulnya separatisme di Indonesia bukan campur tangan asing dalam arti suatu negara, melainkan dalam bentuk desakan-desakan ide-ide yang muncul dari masyarakat negara lain. Dibutuhkan perhatian yang serius terhadap masalah SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) serta ketahanan nasional. Karena ketahanan terhadap dua hal itu belum teruji dengan keras, seperti halnya pada masalah politik, ekonomi, dan ideologi. Jika selama ini gangguan terhadap masalah SARA dan ketahanan nasional sosial teratasi, itu karena mekanisme pengendalian. Mudah terbakarnya isu-isu yang berkaitan dengan SARA sebenarnya tidak karena perbedaan di antara segmen-segmen dalam masyarakat yang berhubungan dengan SARA, melainkan karena kesenjangan ekonomi, politik, maupun budaya yang melatarbelakanginya. Untuk mengatasi masalah SARA tidak bisa hanya menekan gejalanya saja.
Dalam kaitan ini militer tidak akan mampu mengatasi akar-akar persoalan SARA secara sendirian. Karena dibawah isu-isu SARA yang muncul ke permukaan, sebenarnya ada persoalan-persoalan lain, dan itulah yang harus dicarikan pemecahannya. Dalam hal ini masalah kesenjanganlah yang harus cepat diatasi. Sebagai ilustrasi ia mencontohkan di Bangka dan Kalbar, tidak pernah muncul kasus-kasus SARA karena tingkat kesejahteraan ekonomi antara golongan keturunan Cina dan pribumi relatif sama.
Pluralisme yang kita anut adalah pluralisme yang positif. Semua kelompok bebas mengekspresikan diri. Perbedaan ekspresi tidak bisa dikatakan sektarianisme. Untuk mempercepat pembauran antar etnis di Indonesia, maka persamaan pandangan, saling belajar, dan saling menghormati antar kelompok etnis sangat diperlukan.
B. LANDASAN TEORI
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, system hukum, bangsa, suku, agama, kepercayan, aliran politik, serta budaya dan tujuan hidupnya. Dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari dan selalu terjadi. Konflik selalu terjadi di dunia dalam system social yang bernama negara, bangsa, organisasi, perusahaan dan bahkan dalam system social terkecil yang bernama keluarga dan pertemanan. Konflik terjadi di masa lalu, sekarang dan pasti akan terjadi di masa yang akan datang.
Gereja secara positif mengajarkan perdamaian sebagai jawaban terhadap masalah kekerasan dan kekejaman seperti perang, dan secara negative member jawaban atas tantangan kekerasan khususnya kekerasan perang. Ada distingi lain yang penting dan problematic. Di satu pihak teolog Katolik dan ahli etika mendekati permasalahan perang dengan menampilkan gagasan perang adil yang berakar dalam Mazhab Stoa yang masuk ke dalam Gereja lewat ajaran St. Agustinus, di mana tradisi ini menyediakan kerangka analisa guna melawan moralitas tindakan dan kebijakan, di lain pihak, khususnya sejak Vatikan II, lebih banyak lagi teolog kembali ke Injil tentang cinta kasih yang tanpa syarat, dan pengampunan bagi para musuh.
Umat beriman tidak tinggal diam menghadapi kekerasan, tetapi mereka menaklukkan kekerasan itu dengan cinta kasih. Karena adanya penderitaan yang menyebabkan adanya setiap perang, orang harus meyakinkan diri lagi dan lagi bahwa perang tidak dapat dielakkan atau tidak dapat diubah. Kemanusiaan tidak dimaksudkan sebagai penghancuran diri. Pertentangan ideologi, aspirasi dan kepentingan harus diselesaikan dengan sarana lain bukan dengan perang dan kekerasan. Kemanusiaan wajib—demi kemanusiaan itu sendiri—menyelesaikan segala perbedaan dan konflik secara damai.
Bila cinta kasih merupakan motivasi dasar, maka orang tidak akan tahan melihat sesama yang menderita. Cinta sejati mendorong orang untuk berbuat sesuatu bila melihat orang yang dicintai diperlakukan dengan tidak adil, dirampas haknya, ditipu, diperdaya, disakiti, karena hal itu tidak sesuai dengan martabat manusia. Kiranya jelas bahwa Injil menuntut orang Kristen untuk menentang segala bentuk ketidakadilan.
Keterlibatan agama sebagai lembaga masyarakat dalam bidang politik tidak dapat dilepaskan dari keprihatinannya terhadap nilai kemanusiaan. Apa arti kemanusiaan? Pertanyaan ini tentu akan dijawab dengan beraneka ragam konsepsi tentang apa yang disebut sebagai kemanusiaan. Pancasila pun sebagai ideologi Nasional, dalam sila ke-2 menyebut Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tetapi kiranya akan disetujui bila kemanusiaan dirumuskan sebagai negasi terhadap segala situasi dimana kemanusiaan direndahkan karena adanya ketidakadilan, penindasan, pemerkosaan, kemiskinan, kekerasan dan perang. Agama yang pasti tidak mengehndaki umatnya tertimpa situasi itu, tidak cuci tangan dengan memihak kepada pihak yang menjadi korban, miskin dan tertindas.
C. KONFLIK SARA DAN KAITANNYA DENGAN LAMBANG NEGARA
Seperti yang sudah kita ketahui dan kita pelajari sejak masih di Sekolah Dasar, bahwa semboyan Negara Indonesia adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari buku atau kitab Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata Bhineka Tunggal Ika merupakan bahasa Jawa kuno yang jika diartikan bhinneka berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, tunggal berarti satu, sedangkan ika berarti itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang negara Republik Indonesia yaitu Burung Garuda Pancasila. Di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.
Seakan kontras akan semboyan yang selama ini selalu kita bicarakan, kejadian yang ada di lapangan justru jauh dari makna Bhineka Tunggal Ika. Banyaknya konflik yang terjadi karena keberagaman suku, agama, atau apapun itu adalah indikasi bahwa tidak semua orang paham akan makna semboyan negara kita tersebut. Jika mereka mengaku paham akan makna semboyan Bhineka Tunggal Ika, mereka justru akan memahami perbedaan tersebut sebagai keberagaman yang akan memperkaya negeri mereka. Tetapi yang terjadi adalah keberagaman tersebut dijadikan alasan untuk menonjolkan perbedaan prinsip dan pendapat antar kelompok dan golongan. Bagi yang menjadikan SARA sebagai konflik, maka mereka belum memahami kesamaan yang ada dalam diri mereka, karena sebenarnya mereka adalah satu darah, satu bangsa, dan satu tanah air yaitu Indonesia.
Jika kita lihat fenomena maraknya konflik berbau SARA saat ini, sebenarnya merupakan refleksi proses panjang bangsa Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sedang diuji. Jika kita tengok kembali pada masa dulu, tidak akan ada kita lihat orang berperang atas nama perbedaan. Para pahlawan contohnya. Walaupun mereka berbeda daerah asal, tapi mereka sama-sama bertujuan dan bertempur melawan penjajah. Tidak ada yang saling berdebat bahwa cara peperangan yang baik adalah dari daerahku, atau agama yang paling baik untuk dipertahankan dan disebarkan pada masyarakat adalah agamaku. Semua seakan berjalan selaras dan saling berdampingan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengakui banyak perbedaan dan seharusnya tidak ada konflik yang berujung pada kekerasan. Konflik sebagai alat berekspansi merupakan sifat dasar manusia yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga menimbulkan konflik. Kalau ada solusi untuk konflik itu maka ada perubahan untuk penyesuaian, sedangkan kalau tidak ada solusi maka yang terjadi adalah peperangan.
Dengan adanya konflik SARA yang sering muncul akhir-akhir ini, mungkin kita tidak bisa hanya menyalahkan orang-orang yang berkonflik saja, tetapi kita juga patut mengamati kinerja pemerintahan dalam menangani konflik. Selama ini pemerintah hanya menyampaikan slogan-slogan untuk meredam konflik, tanpa ada ketegasan dalam sebuah aturan dan tindakan kongkrit. Pemerintah seolah menggampangkan kasus ini hanya menurunkan anggota militer yang contohnya dalam kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah di Banten yang saat terjadi penyerangan hingga merusak satu rumah dan menelan tiga korban jiwa, mereka tetap tidak berkutik untuk menghalang massa tersebut.
Sedangkan jika dilihat dari dasar negara kita pada sila ketiga yang berbunyi "Persatuan Indonesia" mengajak masyarakat Indonesia untuk bersatu, menjaga perdamaian antar individu dan antar kelompok. Dalam sila tersebut jelas digambarkan sebagai pohon beringin yang melambangkan negara yang besar dimana rakyatnya bisa berlindung dibawah satu pemerintahan yang kuat. Pancasila adalah ideologi bangsa, suatu jati diri bangsa, kepribadian bangsa, cita - cita bangsa. Jika kita gagal mempertahankan makna dari salah satu sila tersebut, maka dengan kata lain kita pun mulai menghancurkan sendiri jati diri bangsa kita dihadapan bangsa lain, kita menjatuhkan martabat bangsa kita yang mengaku sebagai negara dan bangsa yang menganut sistem demokrasi. Cita-cita yang luhur mulia yang dibuat oleh para perintis kemerdekaan sedikit demi sedikit pudar karena tingkah laku kita yang tidak bisa menjadi sikap dan perilaku kita.
Dalam sila “Persatuan Indonesia” diharapkan kita bisa mendukung antara satu dengan yang lain, membentuk tujuan bersama yang nantinya dapat kita wujudkan dalam tindakan toleransi kepada semua golongan tanpa melihat adanya status perbedaan yang dapat mewujudkan Indonesia yang aman, nyaman, dan layak untuk dijadikan contoh sebagai negara keberagaman yang dapat menyatukan perbedaan sehingga terciptalah keselarasan yang indah.
D. CONTOH KASUS
- Kasus Temanggung
Kasus ini terjadi karena adanya sikap tidak terima dari pihak ormas yang beratas namakan agama islam kepada keputusan hakim yang memvonis Antonius Richmond Bawengan. kasus ini bermula ketika Antonius Richmond Bawenganmenyebarkan selebaran yang menyindir agama islam, si Antonius sendiri merupakan pemuka agama kristiani. Sidang sebetulnya telah berlangsung selama 3 kali dan selama 3 kali persidangan selalu ada bumbu kericuhan yang ditabur oleh orang-orang yang mengaku berasal dari ormas islam tersebut. Sidang kali pertama dan kedua berjalan lancer tetapi setelah siding berlangsung, orang-orang yang berasal ormas islam tersebut berusaha untuk menyerang Antonius Richmond Bawengan akan tetapi tindakan itu di halau oleh pihak yang berwenang sehingga tidak ada serangan berkelanjutan dari ormas islam tersebut.
Sidang kali ketiga yang juga puncak dari sidang-sidang sebelumnya yang didalamnya ada pembacaan vonis dari hakim kepada terdakwa. Sidang ini berlangsung ricuh setelah pembacaan vonis dimulai, karena di dalam ruang sidang ada orang-orang yang mengaku dari ormas islam yang ikut mendengarkan putusan hakim dari dalam ruang pengadilan. Karena berlangsung ricuh maka orang – orang yang berasal dari ormas islam tersebut dihimbau untuk keluar dari ruang sidang karena mengganggu proses sidang saat itu. Setelah keluar bukannya bertambah kondusif namun suasana menjadi semakin panas karena para anggota ormas – ormas tersebut malah menyerang kantor pengadilan dengan melempari batu dan bermacam benda keras. Walaupun telah ada penjagaan dari pihak aparat polisi tetapi serangan tak dihentikan malah bertambah menjadi, hingga pada akhirnya polisi memita bantuan dari satuan brimob. Setelah ada bantuan dari pihak brimob massa membubarkan diri dan pulang bersamaan denga berjalan kaki. Akan tetapi aksi ternyata aksi tak selesai sampai disitu tanpa penjagaan, massa ormas islam tersebut merusak dan membakar tiga gereja dan satu sekolah Kristen di temanggung. Tak hanya greja dan sekolah Kristen yang dirusak, beberapa mobil yang di parker berdekatan dengan gerejapun dibakar hingga tinggal rongoknya saja. Dalam aksi yang brutal ini tak ada korban jiwa yang melayang tetapi kerugian dinilai hingga ratusan juta rupiah.
Dalam kasus ini massa yang menamakan ormas islam tersebut menunjukan tindakan yang sangat tidak patut untuk dilakukan manusia. Tindakan-tindakan tersebut secara langsung menyakiti hati agama lain yaitu umat kristiani sendiri. Pemikiran yang sempit dan budaya latah di Indonesia yang mempermudah orang-orang kita dapat dengan gamblangnya menerima doktrin dari sekelompok orang yang memiliki sikap fanatisme tinggi terhadap agamanya sendiri. Bukankah sebetulnya setiap agama tak mengajarkan kekerasan tumbuh. Maka dari itu sebetulnya manusia dituntut berpikir kritis terhadap setiap masukan yang terjadi yang menyangkut agama sendiri. Karena dengan adanya kasus seperti diatas akan semakin mendorong suatu perpecahan itu pecah.
- Kasus Sampit
Raut muka lelaki itu dingin. Mengenakan ikat kepala merah, ia berdiri di tengah kerumunan dengan kedua tangan membentang lebar. Tangan kirinya menenteng kepala bocah berusia sekitar lima tahun yang lepas dari tubuh. Sedangkan tangan kanan tinggi-tinggi mengacungkan senjata keramat, mandau. Orang-orang yang menyaksikan pemandangan itu terdiam. Semua melihat dengan tatapan datar, tanpa rasa ngeri, tanpa beban. Bocah malang itu tak sendirian. Ia adalah satu di antara ratusan jiwa yang tewas dengan cara mengenaskan, sejak pertikaian antara dua etnis yang kerap berseteru, Madura dan Dayak, meruyak Sampit, Kalimantan Tengah, dua pekan silam. Di Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur itu, cukup mudah menemukan mayat-mayat tanpa kepala. Tak berlebihan bila ada yang melukiskan, kaki bisa tersandung mayat saat menyusuri ruas jalan di Sampit akhir-akhir ini. Sebab, jenazah korban pembantaian memang berserakan nyaris di setiap sudut kota, terutama di lokasi kediaman etnis Madura. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa. Sedangkan menurut data kepolisian, 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak. Aksi pembasmian etnis ini dibenarkan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Polisi Didi Widayadi, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, pekan terakhir Februari silam. Banyak cerita yang mengisahkan penyebab Sampit terkoyak. Terbetik berita, pertikaian itu bermula dari pembunuhan yang dilakukan sejumlah orang Madura terhadap seorang ibu warga Dayak yang sedang hamil tua. Para pembunuh bertindak sadis. Mereka menyayat perut korban, mengeluarkan bayi dari kandungan, dan membakarnya. Kisah lain, perseteruan terjadi setelah sekelompok warga Dayak menyerang Keluarga Matayo, pendatang Madura di wilayah Kecamatan Baamang. Pengeroyokan itu menewaskan empat orang dan melukai seorang lainnya. Mengetahui ini, emosi warga Madura terbakar. Mereka pun berbondong-bondong menyerbu rumah yang diduga sebagai tempat pelarian para pembunuh keluarga Matayo. Tanpa pikir panjang, mereka membakar belasan rumah milik warga Dayak di sekitar lokasi. Aksi ini disusul serangan balasan oleh orang Dayak. Versi lain, pertempuran dipicu dendam orang Madura atas kerusuhan Desember tahun silam, di daerah Kerengpangi, Kabupaten Kotawaringin Timur, 100 kilometer arah selatan Palangkaraya. Bagi orang Madura, pembalasan yang pas adalah pada Sabtu, 17 Februari malam. Saat itu, banyak orang Dayak panik dan lari ke Palangkaraya, Banjarmasin atau ke pedalaman. Terbetik berita, enam orang tewas tak lama serbuan dilancarkan. Orang Madura pun menguasai Sampit sampai Senin. Pada Selasa dan Rabu pagi, mereka masih menyerang sambil meletakkan bom di beberapa sudut kota. Aksi balas dendam warga Madura seolah membangunkan macan yang terlelap. Selang beberapa lama, mandau pun terayun. Berduyun-duyun orang Dayak datang dari daerah alur sungai pedalaman Kalteng, daerah Barito, Pangkalan Bun, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada Rabu sore, mereka berhasil menguasai Sampit. Warga Dayak melakukan serangan balasan tanpa pandang bulu. Hati yang panas tak lagi mempunyai mata. Bukan cuma orang Madura yang semula terlibat keributan yang menjadi korban. Tapi, siapa pun orang Madura yang ditemui, dibabat. Rumah-rumah Madura, dari Sampit sampai Palangkaraya, dihancurkan dan dibakar. Desas-desus yang beredar, dari aksi ini warga Dayak berhasil mengumpulkan 700 kepala manusia sampai Sabtu, 24 Februari. Diperkirakan, hingga kini, jumlah korban sudah mencapai ribuan jiwa. Entah cerita mana yang benar, satu hal pasti, bendera perang telah berkibar. Buntutnya, ribuan warga Madura terpaksa hengkang ke hutan dan pedalaman. Dari pemantauan SCTV, hingga kini, mereka masih tak berani keluar. Amat mungkin mereka terancam kelaparan, mengingat saat kabur, mereka tak membawa bekal makanan yang cukup. SCTV memperoleh cerita memilukan. Ada pasangan suami istri yang harus berpisah lantaran keduanya berlainan etnis. Sang istri Madura dan suami Dayak. Tak lama setelah pertikaian pecah, si istri turut mengungsi ke Madura. Alih-alih nyaman di kampung sendiri, kehadirannya malah ditolak lantaran bersuami orang Dayak. Begitu pun ketika ia harus mengikuti si suami, masyarakat Dayak sulit menerima. Kini, ibu muda yang tengah hamil tua itu terpaksa diungsikan ke Banjar. Sedangkan suami tetap di kampungnya. Entah sampai kapan mereka harus berpisah. Aparat keamanan tak mampu berbuat lebih jauh. Mereka sibuk mengurus pengungsi. Sedikitnya, 33 ribu orang berlindung di tempat-tempat penampungan dan lebih dari 23.800 warga pendatang diungsikan keluar Kalimantan. Secara bergiliran mereka dievakuasi, melalui kapal-kapal milik Tentara Nasional Indonesia. Sempat terjadi adegan konyol di tengah pengevakuasian pengungsi ini, ketika anggota TNI terlibat baku tembak dengan anggota Brigade Mobil Polri. Ritual Memenggal Kepala Permusuhan antara Dayak dan Madura begitu mengerikan. Sebab, muncul nilai-nilai yang berhubungan dengan ritual warga Dayak, yakni memenggal kepala (mengayau). Menebas kepala lawan memang sudah menjadi ritual yang harus dijalankan pemuda Dayak sebelum memasuki akil-balik. Bahkan, bila mereka juga memakan hati musuh, itulah kepercayaan bahwa hanya dengan cara demikian roh korban tak akan mengganggu seumur hidup. Dayak memang menggenggam tradisi unik. Sebelum membunuh lawan, mereka melakukan sejenis upacara sebagai persiapan perang. Konon, setelah menemukan sasaran yang diincar, orang Dayak tak melihat musuh sebagai manusia utuh. Tapi, seolah-olah, mereka tengah berhadapan dengan manusia berkepala sapi. Maka, ketika mandau digunakan untuk mengayau, orang Dayak merasa sedang memenggal kepala hewan ternak. Dahsyatnya, sekali tebas, kepala korban langsung lepas dari badan. Kabarnya, kepala-kepala itu akan ditunjukkan kepada pimpinan mereka begitu tiwah --bagian dari rangkaian upacara penguburan masyarakat Dayak Ngaju-- digelar. Mereka meyakini, semua arwah akan masuk sorga bila telah dilakukan tiwah. Inilah puncak ritual untuk mengantar arwah si mati masuk ke dalam alam kekal yang serba indah, yang tak mengalami kekurangan apapun (lewu tatau hapasir intan habusung bulau). Itu sebabnya, agak sulit mengatakan bahwa memenggal kepala bagi orang Dayak adalah kesadisan atau kekejaman yang sudah menjadi watak. Ini adat yang terpendam lama dan sewaktu-waktu bisa muncul. Jangan heran kebiasaan tersebut terjadi di Tragedi Sampit, pertikaian kesepuluh yang pecah di Kalimantan sejak 1950. Banyak kalangan heran, begitu mudah orang Madura dan warga asli di Kalimantan terlibat konflik. Dalam disertasinya bertajuk Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, almarhum Profesor Hendro Suroyo Sudagung mengungkapkan, pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang "tamu"-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan --dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah-- amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala.
3. Kasus Aceh
Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam, bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi.
Pemberontakan separatis di Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalam pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah.
Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia.
Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar.
Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998.
Ditekan oleh teriakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi.
Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan.
Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu.
E. TANGGAPAN KELOMPOK MENGENAI KONFLIK SARA
Kami sangat prihatin dengan adanya kerusuhan di Temanggung pada bulan Februari lalu itu. Harusnya kerusuhan seperti ini tidak perlu terjadi dan harus dihindari oleh masyarakat. Akibat dari kerusuhan tersebut menimbulkan banyak kerugian, contohnya seperti rusaknya fasilitas keagamaan di Gereja-gereja. Selain kerugian materiil dampak kerusuhan yang lebih parah adalah timbulnya kerenggangan hubungan antara umat kristiani dan muslim. Timbul pemikiran bahwa umat muslim selalu melakukan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah, padahal seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin, duduk bersama dan dibicarakan agar dapat dicari jalan keluarnya secara bersama sehingga tidak muncul kerusuhan lagi seperti kerusuhan Temanggung.
Sebagai negara yang berdasarkan hukum harusnya masalah yang memicu kerusuhan tersebut dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Untuk apa ada pengadilan jika tidak dimanfaatkan. Apapun hasil yang ditentukan oleh pengadilan juga harus diterima dengan lapang dada. Jika hasil yang didapat tidak sesuaipun masih bisa mengajukan banding. Selain melalui pengadilanpun masih ada cara-caralain yang dapat ditempuh untuk mencapai suatu keadilan. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, asalkan tidak dengan menggunakan emosi semata.
Agar dapat menjaga kerukunan antar agama diperlukan kerukunan, saling menghargai antar agama, berpikiran positif, serta umat juga harus menahan diri dan tidak terpancing provokasi pihak manapun yang memberitakan hal-hal yang buruk. Selain itu jangan membuat hal-hal yang dapat menyinggung kerukunan dan perasaan keagamaan, orang atau kelompok. Jangan melakukan sesuatu yang menodai kerukunan. Ini penting karena diharapkan satu sama lain bisa saling menghormati.
Menteri Agama, Suryadharma Ali dalam AntaraNews.com mengatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat agar menjadikan agama sebagai sumber inspirasi dan motivasi serta pedoman dalam kehidupan, sehingga terwujud kerukunan umat beragama.
"Marilah kita jadikan agama sebagai sumber inspirasi, sumber motivasi, penuntun dan pedoman dalam kehidupan kita semua," katanya yang didampigi Gubernur Sultra, Nur Alam ketika meresmikan Gedung Kantor Kementerian Agama Kota Kendari pada bulan Februari lalu.
F. KESIMPULAN DAN SARAN
Kuantitas dan kualitas konflik yang terjadi di Indonesia pada masa mendatang cenderung meningkat. Kecenderungan ini pertama karena berkembangnya masyarakat madani atau masyarakat sipil. Konflik juga cenderung meningkat karena masyarakat Indonesia belum siap berdemokrasi. Konflik juga terjadi karena masalah ekonomi atau penghidupan masyarakat, dan antara mahasiswa dan pemerintah. Demokratisasi disertai liberalisasi kehidupan merupakan penyebab lain yang meningkatkan terjadinya konflik di Indonesia. Demokrasi merupakan suatu system yang menghargai kebebasan berserikat, berpendapat, dan tampil beda. Demokrasi telah menciptakan masyarakat yang pluralistic. Dalam masyarakat pluralistic, kemungkinan terjadinya konflik tinggi. Agar konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik, dalam system demokrasi tersedia mekanisme menyelesaikan konflik, yaitu pemungutan suara dan pelaksanaan hukum tanpa pandang bulu.
Beberapa contoh sikap untuk mencegah dan mengatasi konflik SARA :
1. Menanamkan sikap cinta kasih. Dengan memiliki sikap mengasihi, manusia memutuskan segala tindakannya sesuai yang benar.
2. Penanaman kembali persatuan Indonesia dalam “Bhineka Tunggal Ika”. Manusia Indonesia perlu disadarkan kembali bahwa selama kita masih menjadi warga Indonesia, kita adalah satu jiwa dan raga yang harus emmperjuangkan kesejahteraan bersama.
3. Penegasan hukum yang berlaku. Hukum seharusnya mengatur rakyat untuk bertindak sesuai aturan yang baik. Jangan sampai hukum justru diatur oleh rakyat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk membeli hukum. Pemerataan hukum juga penting untuk menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum bagi petinggi negara harus sama dengan hukum bagi rakyat biasa.
4. Pemerintah yang cepat tanggap dalam setiap permasalahan yang ada di masyarakat. Tindakan pencegahan maupun penanganan masalah harus dilakukan dengan cepat supaya tidak menimbulkan kerugian yang banyak bagi masyarakat. Selain itu pemerintah juga harus melakukan upaya penyelesaian masalah yang menjadi dasar konflik terjadi.
Source :
wah, artikelnya bagus dan bermnfaat. mksih ya gan atas infonya.. :) sukses selalu!
BalasHapuspenerjemah bahasa jerman
penerjemah bahasa belanda